Sabtu, 09 Januari 2010

Bambu untuk Mengurangi Karbon Dioksida

Vegetasi bambu berdaya serap karbon dioksida tergolong paling besar, berbeda dengan jenis pohon lain karena bambu memiliki kemampuan fotosintesis efisien, yaitu menyerap kembali sebagian karbon dioksida yang dihasilkan.
Dunia tidak akan bisa menolak bambu dengan ekolabel karena bambu yang tidak dipanen atau dimanfaatkan justru akan membusuk di alam dan melepaskan emisi

Dalam pembahasan di Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark, baru-baru ini, penanaman bambu diupayakan masuk dalam program Alih Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF), serta Reduksi Emisi dari Perusakan Hutan dan Degradasi Lahan (REDD).

”Dunia tidak akan bisa menolak bambu dengan ekolabel karena bambu yang tidak dipanen atau dimanfaatkan justru akan membusuk di alam dan melepaskan emisi,” kata Marc Peeters, salah satu penanam modal usaha pembibitan bambu satu-satunya di Indonesia dengan teknologi kultur jaringan dari Belgia, Senin (1/2/2010) di Jakarta.

Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja telah menyampaikan gagasannya kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta untuk menghidupkan kembali Rencana Aksi Bambu Nasional. Kebijakan itu dikeluarkan Sarwono saat menjabat Menteri Lingkungan Hidup periode 1996-1997.

Peneliti bambu dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Hutan dan Konservasi Alam pada Badan Litbang Kehutanan di Departemen Kehutanan Sutiyono menjelaskan, fotosintesis bambu memiliki mekanisme C4, sedangkan pohon jenis lainnya C3. Artinya, fotosintesis bambu lebih efisien.

Peeters mengatakan, apresiasi dunia terhadap bambu kini meningkat, seperti di Bandara Barajas, Madrid, Spanyol, yang menggunakan bambu untuk langit-langit gedungnya.

Selasa, 05 Januari 2010

Siput Pertama Berbadan Setengah Flora Setengah Fauna

Siput laut Elysia chlorotica tak perlu lagi makan untuk mendapat energi karena bisa mencuri gen untuk menghasilkan klorofil, dan mencuri kloroplas sehingga bisa berfotosintesis dengan klorofilnya itu

Tampaknya siput laut ini makhluk pertama yang tubuhnya setengah flora setengah fauna. Pasalnya, siput yang baru ditemukan ini bisa menghasilkan pigmen klorofil seperti layaknya tumbuh-tumbuhan.

Para ilmuwan memperkirakan, siput cerdik tersebut mencuri gen dari alga yang mereka makan sehingga bisa menghasilkan klorofil. Dengan gen "curian", mereka bisa berfotosintesis, yaitu proses tumbuhan untuk mengubah cahaya matahari menjadi energi.

"Hewan ini bisa membuat molekul berisi energi tanpa makan apa-apa," kata Sydney Pierce, pakar biologi dari Universitas South Florida di Tampa. Pierce telah mempelajari mahluk unik tersebut, yang telah resmi dinamakan Elysia chlorotica, selama 20 tahun.

Ia mengajukan temuan terbarunya pada tanggal 7 Januari 2010, pada pertemuan tahunan Komunitas Integratif dan Perbandingan Biologi di Seattle. Temuan ini dilaporkan pertama kali oleh jurnal Science. "Ini pertama kalinya hewan multiseluler bisa menghasilkan klorofil," tutur Pierce.

Siput laut ini tinggal di rawa-rawa air asin di New England, Kanada. Selain "mencuri" gen untuk menghasilkan pigmen hijau klorofil, hewan ini juga mencuri bagian-bagian kecil sel yang disebut kloroplas, yang dipakai untuk melakukan fotosintesis. Kloroplas menggunakan klorofil untuk mengubah cahaya matahari menjadi energi, seperti tanaman, sehingga hewan ini tak perlu makan untuk mendapatkan energi.

"Kami mengumpulkan sejumlah hewan tersebut dan menyimpannya di akuarium selama berbulan-bulan," kata Pierce, "Asalkan diberi cahaya selama 12 jam sehari, mereka bisa bertahan (tanpa makan)."

Para peneliti memakai pelacak radioaktif untuk memastikan bahwa siput-siput ini benar-benar menghasilkan klorofil, dan bukan mencurinya dari pigmen yang sudah pada alga. Nyatanya, siput-siput ini mengintegrasikan materi genetika dengan sangat sempurna sehingga bisa diturunkan pada generasi selanjutnya.

Anak-anak dari siput yang sudah "mencuri" gen juga bisa menghasilkan klorofil sendiri, walaupun mereka tak bisa berfotosintesis sebelum mereka makan cukup alga hingga bisa "mencuri" cukup kloroplas. Sejauh ini, kloroplasnya belum bisa mereka produksi sendiri. Keberhasilan siput-siput ini mengagumkan, dan para ilmuwan juga masih belum bisa memastikan, bagaimana hewan ini bisa memilih gen yang mereka butuhkan.

"Mungkin saja DNA dari satu spesies bisa masuk ke spesies yang lain, seperti yang telah dibuktikan oleh siput jenis ini. Tapi mekanismenya masih belum diketahui," ungkap Pierce.

Minggu, 03 Januari 2010

Peneliti Taiwan Temukan Kepiting Stroberi

Tim peneliti biologi laut Taiwan dari National Taiwan Ocean University yang dipimpin oleh ahli biologi laut, Ho Ping Ho, menemukan dua kepiting betina spesies baru yang berwarna merah menyala dengan bintil-bintil berwarna putih persis seperti buah stroberi yang berukuran besar.

Kedua kepiting spesies baru ini ditemukan di daerah lepas pantai bagian selatan Taiwan ketika tim peneliti Ho sedang melakukan penelitian mengenai dampak kapal-kapal yang karam terhadap lingkungan dan biota laut pada Juni 2009 di kawasan pantai selatan Taman Nasional Kenting. Kawasan taman nasional ini dikenal kaya akan satwa laut yang beraneka ragam.

”Pada saat kami temukan, satu ekor sudah dalam kondisi mati, sementara satu ekor lagi dalam kondisi hampir mati di pantai Chialoshui. Untung saja kebocoran minyak yang berasal dari kapal-kapal yang karam dan kapal kargo yang lalu lalang tidak terlalu serius. Kalau serius, berbahaya karena bisa jadi kedua kepiting spesies baru itu terkena polusi, mati, dan tidak akan kita temukan,” kata Ho, Selasa (5/1/2010).

Setelah memeriksa satu per satu kumpulan data spesies kepiting yang ada di seluruh dunia yang mencapai sekitar 10.000 spesies sekaligus berkonsultasi dengan para pakar dari sejumlah negara, Ho kemudian yakin ia dan timnya berhasil menemukan spesies baru yang kemudian mereka beri nama ”kepiting stroberi”.

Menurut Ho, kepiting stroberi spesies itu terlihat agak mirip dengan spesies kepiting lain yang bernama Neoliomera pubescens dan tinggal di daerah-daerah seperti Hawaii, Polynesia, dan Mauritius. Hanya saja, kepiting stroberi ini menjadi berbeda karena kulit cangkangnya yang berbentuk seperti kerang dan memiliki lebar sekitar 2,5 sentimeter.

”Kami akan secara formal mengumumkan penemuan ini dalam artikel yang akan dipublikasikan di majalah Crustaceana terbitan Belanda,” kata Ho yang saat ini tengah mengkaji ulang temuannya itu. Tim peneliti dari National University of Singapore juga mengaku pernah menemukan kepiting stroberi jantan di kawasan kepulauan Pasifik.

Jumat, 01 Januari 2010

"G-Spot" Itu Fiktif?

Menurut para peneliti, G-spot ternyata hanyalah rekayasa imajinasi. Para peneliti melakukan riset terhadap 1.800 wanita dan tak menemukan bukti adanya area erotis itu.

Para peneliti menyatakan bahwa G-spot hanya hasil imajinasi yang diperkuat dengan informasi dari berbagai majalah dan ahli terapi seks, dan hal ini menyebabkan banyak wanita dan pria merasa kekurangan dalam kehidupan seksual mereka.

G-spot diyakini merupakan daerah kecil pada tubuh wanita dengan ujung-ujung syaraf terkonsentrasi sehingga, bila dirangsang oleh pasangan, maka hal itu bisa memberikan kepuasan seksual luar biasa.

Para ahli terapi seks kerap kali memberi nasihat kepada wanita bahwa mereka bisa mengembangkan G-spot mereka dengan olahraga dan diet.

Namun, penelitian terhadap wanita Inggris di King's College, London, meragukan adanya alasan ilmiah untuk keberadaan G-spot.

Tim Spector, profesor Epidemiologi Genetika, dan mitra dalam penelitian itu, menyatakan, "Wanita boleh beralasan bahwa G-spot ada karena diet dan olahraga, tapi sebenarnya tak mungkin menemukan tanda-tanda pastinya. Penelitian ini merupakan yang terbesar di bidangnya dan menunjukkan dengan pasti bahwa konsep G-spot itu subyektif."

Andrea Burri, peneliti lainnya, prihatin bahwa para wanita yang khawatir bahwa mereka tak memiliki G-spot merasa tak layak atau gagal. Ia juga mengatakan, "Mengklaim keberadaan sesuatu yang belum pernah terbukti dan menyebabkan wanita—dan bahkan pria juga—menjadi tertekan adalah perbuatan tak bertanggung jawab."

Dalam penelitian mereka, 1.804 wanita dengan kisaran umur dari 23 sampai 83 tahun diminta mengisi kuesioner. Semuanya merupakan pasangan kembar, baik identik atau tidak. Teorinya adalah, bila G-spot memang ada, maka bagian itu pasti sama-sama ditemukan pada pasangan kembar karena genetika mereka sama, atau untuk pasangan kembar non-identik setidaknya setengah genetikanya sama.

Namun untuk kasus-kasus dengan salah satu dari pasangan kembar itu mengaku memiliki G-spot, para peneliti tak menemukan pola bahwa pasangannya juga punya. Bahkan untuk pasangan kembar identik pun tak ditemukan ada yang sama-sama memiliki G-spot.

Sekitar 56 persen wanita menyatakan memiliki G-spot. Namun, kebanyakan adalah dari grup yang lebih muda dan aktif secara seksual.

Gedis Grudzinskas, konsultan ginekolog di RS London Bridge mengatakan, "Menurutku studi ini membuktikan perbedaan antara ilmu pengetahuan populer dan ilmu pengetahuan anatomi atau biologi."

Konsep G-spot dipopulerkan oleh seksolog Prof Beverly Whipple dari Universitas Rutgers, New Jersey, pada tahun 1981. Huruf 'G'-nya diambil dari ginekolog Jerman, Ernst Grafenberg, yang menemukannya pada tahun 1950.

Prof Whipple mengaku menemukan G-spot pada penelitiannya terhadap 400 wanita dan berpendapat bahwa penelitian terbaru di Inggris itu memiliki kekurangan karena tidak meneliti kaum lesbian dan tidak memperhitungkan perbedaan kemampuan di antara pria. "Masalah terbesar untuk hasil penelitian itu adalah bahwa pasangan kembar umumnya tidak berbagi pasangan yang sama."